FOOD XPERIMENT: KARENA RASA PUNYA CERITA
Setiap orang pasti pernah memasakan makanan untuk yang tersayang. Ada kala dimana momen tersebut adalah momen yang sakral karena memasak bukan sekedar menghidangkan makanan, tapi menghadirkan rasa dari relung jiwa. Menyatu dalam konsentrat takaran setiap bahan, mensubtitusi kedalam cita rasa istimewa. Memasak bukan sekedar mengikuti urutan resep, tetapi memaknai setiap tahapan menyatunya setiap bahan dengan sukarela. Setiap waktu yang digunakan saat memasak adalah berharga, seperti berharganya hasil masakan yang disajikan dengan rasa dari jiwa.
Semula, tentu setiap orang tidak terlahir dengan langsung gemar memasak. Ada yang memang menggemarinya sedari kecil karena orangtua atau idolanya mahir dalam memasak. Ada yang baru mulai menyukainya setelah dewasa. Kalau diijinkan berbagi cerita, saya termasuk yang kedua. Memang sedari kecil orangtua saya sudah membekali saya dengan life skill beliau sering menyebutkannya, yaitu dengan setiap hari berurusan dengan dapur. Mencuci piring, bantu mengiris bawang, membantu mengupas dan menyiangi sayuran. Namun, tidak pernah dituntut untuk dapat memasak. Hanya sesekali saja, kalau ingin.
Kemudian, sewaktu SD menghadapi ujian EBTANAS ada ujian praktek yang temanya memasak. Entah mengapa itu masuk dalam salah satu ujian praktek. Saat itu, saya mengusulkan untuk memasak sayur bayam dan memang itu adalah sayuran yang mudah untuk dimasak oleh anak kelas 6 SD kan? Akhirnya kami semua lulus dengan sajian lezat sayur bayam dan aneka ragam yang menemaninya seperti tahu dan tempe goreng.
Lalu memasuki saat SMA, kembali saya merantau jauh dari orangtua sehingga perlu kembali menajamkan keterampilan memasak yang sederhana ini. Tetapi karena saat itu hanya memasak untuk sendiri maka tidak terlalu ada keinginan untuk mencoba sesuatu yang tidak biasa. Akhirnya lebih sering membeli makanan jadi untuk kemudian dihangatkan.
Tetapi saat memasuki jenjang perkuliahan, memasak membuat penasaran. Beberapa kali memasak dengan membeli bahan mentah berupa ikan lele dan tumis kangkung. Lebih sering sederhana dan tidak banyak variasi, tetapi cukup lah untuk membuat seorang lulus kuliah dengan perut kenyang. Memasak sendiri ternyata menghadirkan suatu rasa yang berbeda. Ada kebanggaan tersendiri karena saat itu kebanyakan teman dekat saya justru tidak bisa memasak atau tidak mau lebih tepatnya.
Kemudian, saat kerja saya dihadapkan pada kenyataan bahwa rekan-rekan kerja saya adalah orang-orang yang gemar memasak. Mungkin bukan gemar yah, tapi lebih tepat mengisi waktu luang. Kebetulan dari mereka semua adalah seseorang anak perempuan pertama dalam keluarga mereka yang cenderung mendapatkan tuntutan untuk dapat memasak. Kontras dengan saya yang cenderung tidak seperti itu. Saya tidak memahami mengapa keterampilan memasak saya yang cenderung biasa saja membuat saya jadi tidak nyaman, Wakakakka. Yah begitulah tapi saya waktu itu belum terlalu ingin mendalaminya.
Sampai pada suatu ketika saya menikah dengan seseorang yang lidahnya peka terhadap rasa. Awalnya tentu hanya kesal yang saya rasa karena terlalu banyak di komplain soal masakan. Tetapi setelah berjalan beberapa tahun memasakan untuknya saya lalu merasa tertantang untuk menghadirkan sajian istimewa. Mau gak mau untuk dapat menaklukan lidahnya saya perlu menghadirkan jiwa saya kedalam masakan yang saya buat. Ternyata memang ada orang orang dengan tipikal lidah "supertaster" saya sih berpikir positif saja. Toh akhirnya saya juga yang menikmati keberhasilan memasak dengan rasa yang pas dilidahnya. Bahkan pada akhir cerita, saya sendiri yang menanti nanti kapan datang waktu pagi agar dapat me time di dapur dengan mencoba resep yang baru dan terus berusaha menghadirkan jiwa ke dalam masakan saya tersebut agar yang mencoba dapat bukan sekedar kenyang tapi juga damai dihati.
Jakarta, with LOVE
ASP
Komentar
Posting Komentar