NASI KUNING PINGGIR JALAN

Penjual nasi kuning dekat rumah saya sudah berjualan sejak dua atau tiga tahun lalu, sekitaran tahun 2018 atau bisa saja sebelum itu. Menariknya ia menjual dengan harga yang cukup murah untuk ukuran ibu kota, yaitu Rp 6.000,- sebungkusnya. Meskipun, wilayah tempat saya tinggal memang sedikit lagi berbatasan dengan kota penyokong di sekitaran Ibu Kota tapi masih termasuk Wilayah DKI Jakarta. Umunya, harga nasi kuning dengan telor, timun, bawang goreng, sambel dan kerupuk sudah dijual sekitar Rp 7.000,- . Selisih yang lumayan untuk ukuran makanan yang dijual pedagang gerobak. 

Hal yang membuat saya jadi kepikiran adalah ketika melewati masa pandemi, jualan dia tetap Rp 6.000,- dengan produk yang saya rasa sama dengan sebelumnya. Tidak ada pengurangan nasi, lauknya ataupun sambel. Saya berpikir bagaimana cara si abang penjual nasi kuning tersebut memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan harga jual produk yang begitu murah. Saya sempat menduga apakah hidupnya sulit atau seperti apa. Tapi tidak nampak kesulitan dari wajahnya. Tenang saja, santai seperti memang sudah tercukupi dengan apa yang dijualnya. 

Suatu hari abang nasi kuning yang biasa berjualan tidak nampak di lokasi biasa. Tetapi gerobaknya ada. Saya pun mendekatinya karena memang berniat membeli nasi kuning pagi hari tersebut. Sedikit berbasa-basi saya bertanya apakah nasi kuning ini memang punya pedagang yang sama yang saya sering lihat atau berbeda. Bisa saja kan hanya gerobaknya yang sama. Bisa saja si pedagang biasa gulung tikar atau pulang kampung karena pendapatan yang tidak seberapa. Mengingat nasi kuning yang dijualnya cukup murah semakin menguatkan dugaan saya. Jawaban dari pedagang yang baru pertama kali saya lihat itu ternyata menepis perkiraan saya, bahwa pedagang sebelumnya tidak gulung tikar hanya sedang libur karena ada keperluan. Sedikit lega, karena kasihan juga kalau sampai bangkrut ditengah pandemi seperti ini.

Hari-hari berlalu, kembali saya melewati gerobak nasi kuning tersebut pada suatu pagi yang lain. Dari kejauhan sangat sederhana, gerobak, sendal jepit, kemeja lusuh tangan pendek dengan senyum yang tulus dari penjualnya. Hmm, cukup memancing pembeli. Rasa nasi kuningnya juga termasuk yang enak. Saya jadi bertambah heran kenapa tidak dinaikan saja harganya, tetapi saya urungkan niat saya untuk bertanya. Khawatir menjadi ide untuk benar-benar dinaikan harganya hahaha. Sementara saya kan masih ingin membeli dengan harga yang murah. Sebagai konsumen, tidak mau rugi dapat membeli nasi kuning dengan harga murah dan rasa yang enak.

Lalu, saya pun mendekat untuk mengantri dengan pembeli yang lain. Meskipun sudah beberapa pembeli mengantri, si penjual biasa tampak tenang hanya tangannya saja yang bergerilya mengambil nasi, lauk dan membungkusnya. Memang jenis pedagang yang pendiam. Tetapi bahkan dalam diamnya itu tetap banyak yang membeli. Tidak jarang sebelum jam 08.00 WIB dagangannya sudah habis. Laris manis.

Ketika tiba giliran saya untuk dilayani, saya iseng bertanya siapakah penjual yang sebelumnya menggantikannya. Lalu dia menjawab bahwa itu temannya. Hmm, baik sekali seorang teman mau membantu berjualan. Obrolan pun dilanjutnya, sampai si penjual yang biasa itu nyeletuk bahwa ia dan temannya itu adalah sama sama pedagang nasi kuning, sesama bawahan. Dari sana saya dapat menyimpulkan alasannya tidak menaikan harga bahwa memang bukan dia pemilik dagangan nasi kuning tersebut. Ia hanya menjajakan sehingga keputusan menaikan harga bukan padanya. Raut wajah yang tetap tenang dalam berjualan. Tidak nampak terbebani dengan kondisi hidup apalagi memikirkan resiko untung rugi dalam berjualan. Pantas saja seperti itu.

Tetapi belum berhenti sampai disana pikiran-pikiran saya tentang pedagang nasi kuning. Pada suatu hari minggu yang lain, saya kembali berniat membeli nasi kuning pada pedagang yang sudah menjadi langganan kami sekeluarga tersebut. Namun, ketika motor yang saya tumpangi sudah dekat ternyata si pedagang baru saja menjual produk terakhirnya, nasi kuning bungkus terakhir. Artinya kami kehabisan. Sedikit menyesal kenapa tidak dari pagi keluar rumah. 

Namun, tidak kehabisan energi mungkin juga karena terdorong rasa ingin makan nasi kuning maka saya dan suami tetap mencari nasi kuning bukan bubur atau lontong sayur bahkan mie ayam pun kami lewati karena memang ingin makan nasi kuning. Lalu, dari kejauhan tampak gerobak yang mirip-mirip dengan nasi kuning sebelumnya. Posisi jualannya pun sedikit mirip yaitu disebelah masjid persis. Kami pun menepi. 

Ketika saya mendekati gerobak tersebut, saya pun mengerti bahwa penjual yang sedang saya dekati itu menjual nasi kuning yang sama dengan pedagang nasi kuning yang biasa saya beli. Posisi bakul nasi, serta toples-toples lauk ditaruh ditempat yang seragam, dengan penataan yang persis sama seolah menjelaskan kepada saya bahwa ia juga adalah pegawai dari pemilik nasi kuning yang sebenarnya. Ketika saya bertanya soal harga saya tidak heran ia menyebutkan harga yang sama dengan nasi kuning yang biasa saya beli. Rupanya si pemilik nasi kuning sebenarnya, tidak hanya memiliki satu gerobak bahkan mungkin lebih dari dua gerobak. Saya belum sempat menanyakan itu. Tetapi saya sempat memastikan bahwa pedagang nasi kuning yang ini juga menjual nasi kuning dari tempat yang sama seperti pedagang langganan saya. Saya pun pulang setelah mendapatkan kantung nasi kuning.

Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan pola dagang yang dilakukan pemilik nasi kuning. Pertama ia memilih berdagang dengan gerobak kayu yang biasa bukan dengan gerobak yang lebih bagus. Kedua ia memilih berjualan dengan harga yang jauh lebih murah dari nasi kuning lainnya dengan rasa yang enak dan komponen wajib pelengkap nasi kuning yang tidak kalah dengan dagangan lainnya. Apapun alasan dibaliknya, saya pikir penggunaan gerobak dalam berjualan itu lumayan strategis. Gerobak kayu itu bukan yang mengenaskan tetap bersih tapi cukup untuk menarik banyak pembeli dari berbagai kalangan. Kelas ekonomi menengah atas tidak ragu untuk membeli apalagi jika kangen dengan nasi kuning gerobakan pinggir jalan. Sementara menengah kebawah juga tidak takut membeli karena gerobaknya biasa banget. Pedagang yang menggunakan kemeja lusuh namun bersih serta kerahaman dalam melayani pembeli juga seolah dirancang untuk menarik minat orang yang berlalu-lalang disekitarnya.

Jika pedagang nasi kuning adalah bukan pemilik asli, pantas saja harga juga tidak ia naikkan. Karena nampaknya, si pemilik masih punya modal yang cukup untuk tetap memutar uangnya dan berdagang dengan harga yang murah untuk sebungkus nasi kuning. Bahkan mungkin ia punya banyak bisnis diluar sana. Betapa menyenangkannya berdagang.


Jakarta,

ASP




Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAHULUKAN KONTEN DARI KEMASAN

Tentang Membangun Biro Konsultan SDM Part 1

MAKNA TULISAN